PERANG CINA 1742 DAN 1750 DI LASEM
Pada tahun 1679, Lasem
sebagai Bagian dari kerajaan Mataram diserang oleh VOC yang ingin
mendapatkan monopoli perdagangan dipesisir pantai utara Jawa. VOC
dibantu oleh Sunan Amangkurat II akhirnya dapat menaklukan Lasem setelah
melalui peperangan yang berlangsung lama dan berlarut-larut. Hal ini
akhirnya menimbulkan kebencian warga Lasem ( Warga Pribumi maupun
Tionghoa telah membaur waktu itu ) terhadap Belanda maupun penguasa
Mataram sebagai boneka VOC.
Pada tahun 1714, Sunan Pakubuwono I
mengangkat Pangeran Tejakusuma V menjadi Adipati Lasem. Ia tak menyukai
Sunan Pakubowono I maupun penggantinya yaitu Sunan Pakubowono II yang
sangat erat dengan VOC. Diam-diam beliau banyak membantu Arya Mataram
dan Prabu Purbaya melawan VOC dan Penguasa Mataram.
Setelah
pembrontak Mataram semakin surut maka pada tahun 1727 Prabu Tejakusuma V
mengundurkan diri dengan alasan kesehatan dan mulai tuli. Putranya
Raden Panji Margana tidak berkeinginan menjadi Adipati Lasem, ia lebih
memilih menjadi pengusaha pertanian dan pelayaran.
Akhirnya
jabatan Bupati Lasem diserahkan kepada sahabat karibnya yang bernama Oey
Ing Kiat seorang Pengusaha Tionghoa Islam yang sangat kaya, pengusaha
pelayaran yang mempunyai banyak sekali jung dan perahu antar pulau. Oey
Ing Kiat dilantik menjadi Adipati Lasem pada tahuan 1727 oleh Sunan
Pakubowono II dan diberi gelar Tumenggung Widyaningrat. Oey Ing Kiat
adalah keturunan Bi Nang Oen, salah seorang juru mudi armada Laksamana
Ceng Ho yang mendarat di Bonang-Lasem. Bi Nang Oen seorang pujangga dari
Campa dan penyebar agama Islam di Lasem pada awal abad ke XV.
Pada
tahun 1740 , akibat pembantaian orang Tionghoa di Batavia, kurang lebih
1.000 orang Tionghoa Batavia lari dan mengungsi di Lasem sehingga
penduduk Tionghoa Lasem naik hampir dua kali lipat. Pada tahun 1741,
akibat kerusuhan di Kartasura, Ngawi dan banyak kota di Jawa Tengah
banyak orang Tionghoa mengungsi ke Lasem. Adipati Widyaningrat mengajak
Raden Panji Margana untuk melindungi para pengungsi dan beliau langsung
menyetujui mengingat Raden Panji Margana sangat benci Belanda dan juga
pada Sunan Pakubuwono II. Untuk itu Raden Panji Margana menguruk rawa
Sambong dan Narukan di barat kota Lasem menjadi pemukiman para
pengungsi.
Para pengungsi Tionghoa dan juga warga Lasem yang
dendam kepada VOC akhirnya sepakat mengangkat senjata untuk mengusir VOC
dari pulau Jawa dan akhirnya mereka sepakat mengangkat tiga serangkai
pemimpin pembrontakan terhadap VOC, yaitu :
1. Raden Panji Margana
yang akan menyamar sebagai orang Tionghoa dengan nama Tan Pan Ciang dan
berpakaian baju hitam celana pangsi hitam seperti pendekar kungfu pada
waktu itu.
2. Tan Kee Wie seorang pengusaha tambak ikan dan pembuat
ubin terra-cotta yang gemar berderma untuk fakir miskin, juga adalah
pendekar kungfu kota Lasem.
3. Raden Ngabehi Widyaningrat – Tumenggung Lasem alias Oey Ing Kiat.
Penyerangan
oleh Pembrontak Lasem ini dibagi menjadi dua kelompok, kelompok
penyerang dari Laut dipimpin oleh Tan Kee Wie dan kelompok penyerangan
jalan kaki dipimpin oleh Raden Panji Margana dan Raden Ngabehi
Widyaningrat. Pada awalnya dibantu oleh Pembrontak dari Dresi dan
Jangkungan mereka menyerang tangsi Belanda di Rembang. Tangsi tersebut
berhasil diporak porandakan serta banyak serdadu Belanda dan kaki
tangannya terbunuh. Kemudian dari Rembang mereka bergerak ke Barat
dengan menyerang tangsi Belanda di Timur sungai Juwana. Dalam
penyerangan ini mereka dibantu pembrontak Tionghoa dan Jawa dari
Purwodadi. Pertahanan Belanda di Juwana ini sudah diperkuat dengan
senapan api dan meriam VOC dari Semarang sehingga pada serangan pertama
pada siang hari mereka gagal.
Pada penyerangan kedua menjelang
subuh esok harinya dari arah selatan dengan memakai rakit bambu dan
batang pisang melalui sungai Juwana mereka dapat merebut tangsi
tersebut. Keesokan harinya datang lagi bala bantuan VOC dari Semarang
yang mengakibatkan kerugian besar dipihak pembrontak tetapi akhirnya
kemenangan dapat diraih mereka.
Dari kota Juwana mereka hendak
menyerang tangsi Belanda di Jepara. Tan Kee Wie dengan armada Jung dan
perahu berangkat dari Dresi, sampai dipesisir Tayu mereka dapat tambahan
orang Tionghoa Tayu yang juga sudah siap ingin ikut menyerang Belanda
di Jepara. Malang tak terelakkan karena sewaktu jung yang dinaiki Tan
Kee Wie melewati celah antara Ujung Watu dan Pulau Madalika ditembaki
meriam Belanda dari dua sisi sehingga jung tersebut pecah kena peluru
meriam dan beliau tewas ditengah laut ( 5 Nopember 1742 ) .
Sisa
armada Lasem yang selamat berbalik arah ke timur dan mendarat di timur
Ujung Watu, melalui hutan Danareja mereka menyerang Belanda di Ujung
Watu pada esok pagi buta.
\nPada penyerangan ini hanya sebagian
kecil serdadu Belanda yang bisa lolos lari ke Jepara sedangkan yang
lainnya terbunuh. Karena kekuatan pembrontak di Ujung Watu tinggal
sedikit, akhirnya mereka memutuskan kembali ke Lasem lewat laut sambil
membawa rampasan senapan, amunisi dan senjata lainnya.
Untuk
menghormati kepahlawanan Tan Kee Wie dan rekan-rekan mereka yang gugur
maka dibuatlah prasasti batu granit berukir ditempatkan pada batas
tembok Tan Kee Wie di Batok Mimi yaitu bagian kiri dari muara sungai
Paturen yang membelah kota Lasem.
Di Juwana pembrontak Lasem
mendapat lagi bantuan dari selatan yaitu dari Jaken dan Kawak yang
dipimpin oleh Ki Ageng Sukawangi ( beliau adalah keturunan Adipati Lasem
pada abad ke 15, Mpu Santibadra ). Di Juwana ini mereka diserang dari
timur oleh prajurit sewaan dari Madura ( Adipati Cakraningrat ) dan
prajurit bayaran dari Tuban. Pembrontak Lasem akhirnya mengalami
kekalahan besar di Juwana, sisa-sisanya tercerai berai.
Raden
Panji Margana bersama pengawalnya Galiyo melepas baju hitamnya dan
menukarnya dengan pakaian rakyat biasa di desa Raci. Berdua mereka
membeli peralatan dapur bekas dari tembaga yang mereka pergunakan dalam
penyamaran sebagai tukang loak barang tembaga dalam perjalanan kembali
ke Lasem.
Dengan selamat mereka berdua sampai di Lasem, tetapi
Raden Panji Margana dilanda rasa kecewa berat / frustasi sehingga beliau
sakit berbulan-bulan . Tetapi kondisi ini pula akhirnya menjadi dewa
penyelamat karena VOC menjadi tak curiga bahwa beliau pernah menjadi
pemimipin pembrontak di Rembang dan Juwana.
Bila Raden Panji
Margana kembali ke Lasem, Adipati Widyaningrat melepas pakaian hitamnya
dan menyamar menjadi orang Jawa. Beliau hendak pergi ke Kartasura dengan
mengaku sebagai penduduk Kartasura yang berprofesi sebagai pedagang
gamelan buatan Lasem dan hendak kembali ke Kartasura karena terhalang
perang di Juwana. Sesampainya di Kartasura beliau melapor ke Sunan
Pakubuwono II bahwa ia lari dari Lasem karena hendak dibunuh oleh kaum
pembrontak.
Setelah keadaan tenang Oey Ing Kiat kembali ke Lasem
dan oleh Sunan Pakubuwono II kedudukannya sebagai Adipati Lasem dicabut
dan oleh VOC ia hanya diberi kekuasaan mengatur orang Tionghoa Lasem
dengan pangkat Mayor.
Dikisahkan dua putra Raden Panji Sumilir
seorang sesepuh masyarakat Lasem yaitu Raden Panji Suryakusuma dan Raden
Panji Suradilaga bertempat dibekas candi Malad ( candi untuk menyimpan
abu leluhur ) bersumpah untuk membunuh bupati Suro III dan mengusir
bangsa Belanda.
Pada Agustus 1750 Raden Panji Margana mendengar
bahwa pembrontak di Argosoka hendak mengangkat senjata maka semangatnya
untuk melawan Belanda timbul kembali . Pada suatu hari Kamis Raden Panji
Margana meminta agar masyarakat Lasem berkumpul, pada hari Jum’at esok
harinya di alun-alun didepan masjid Lasem sembahyang Jum’at tersebut
dipimpin oleh Imam Kyai Ali Badawi seorang ulama keturunan Mpu
Santibadra . Setelah selesai bersembahyang ia mengumumkan mengajak umat
Islam Lasem perang jihad mengusir Belanda dan antek-anteknya dari bumi
Rembang bergabung dengan pembrontak Tionghoa dari gunung Argasoka.
Raden
Panji Layakusuma seorang pendekar dari desa Gada dibantu Ki Ageng Dapa (
keturunan Mpu Santibadra ) memimpin pembrontak dari Gada, Kasareman,
Badeg dan Ngadem menyerang Rembang dari arah selatan. Pembrontak dari
arah Pamotan dan Sedan yang dipimpin oleh Nayagimbal sudah mendahului
menyerang VOC di Rembang tertangkap di desa Tireman.
Rencana
penyerangan Rembang ini rupanya bocor dua minggu sebelum penyerangan
terjadi, VOC dan Adipati Suroadimenggolo III mengungsikan anggota
keluarganya ke Jepara dan Semarang via laut serta minta bantuan serdadu
dari sana dan juga bantuan dari bupati bupati yang sudah mengabdi pada
VOC.
Bantuan prajurit dari Bupati Tuban dipimpin oleh Tumenggung
Citrasoma menurunkan prajuritnya di Bonang dan Leran dan dihadang oleh
pembrontak Argasoka pimpinan Raden Panji Suryakusuma. Perang ini
berlangsung sampai di Karangpace dan Gombong.
Sebagai pengganti
Raden Ngabehi Widyaningrat, Gubernur Jenderal VOC Baron Von Imhoff
mengangkat Suroadimenggolo III dari Semarang sebagai Adipati Lasem. Ia
berwatak kasar, suka menghina, sok suci dan sewenang-wenang. Ia tinggal
di Tulis ( Barat Lasem ) dimana VOC juga membangun benteng disana, hal
ini untuk resiko perlawanan orang Tionghoa.
Pada bulan Nopember
1743, di Dresi orang-orang Tionghoa yang hidupnya telah membaur dengan
penduduk Jawa asli dipaksa VOC pindah tinggal di tengah kota dan
dilarang bergaul dengan penduduk asli dan mereka diawasi secara ketat.
Mereka disuruh berdagang hasil bumi yang hasilnya harus disetorkan
kepada pihak VOC. Mereka juga diserahi sebagai tukang terima gadai,
penjual candu dan garam milik VOC.
Lasem 1747, rakyat Lasem dikumpulkan dan diancam :
Siapa-siapa yang bersengkokol dengan pemberontak akan disiksa sampai mati.
Dilarang menyimpan kitab-kitab suci Hindu Syiwa, Budha, Pustaka Sabda
Badrasanti ( Babad Bumi Lasem ) dan catatan - catatan heroisme
pembrontak dan menyerahkannya ke Kabupaten. Barang siapa yang masih
menyimpan akan dihukum cambuk dua puluh lima kali.
Candi-candi di Lasem harus dibongkar dan patung-patungnya dihancurkan.
Alhasil ribuan kitab dan buku lontar berhasil dikumpulkan di alun-alun dan dibakar, kecuali
kitab-kitab yang berada di kediaman Raden Panji Margana.
Pada
tahun 1748, candi-candi di Lasem mulai dihancurkan dan hal ini memicu
kemarahan masyarakat Lasem dan mereka sepakat untuk membunuh
Suroadimenggolo III.
Suroadimenggolo III mengetahui bahwa
nyawanya terancam dan pembrontak Lasem yang bersembunyi di hutan gunung
Argosoko, barat kota Lasem mau bergerak lagi, maka dia memutuskan pindah
ke Magersari – Rembang. Begitu pula VOC memindahkan benteng Tulis ke
Rembang.
Tentara VOC dari Jepara menyusup dari laut sampai di
Layur ( barat sungai Paturenan sebelah utara Lasem ). Mereka dihadang
oleh pembrontak Lasem dibawah pimpinan Mayor Oey Ing Kiat yang mempunyai
banyak senapan dan meriam hasil rampasan. Senjata-senjata tersebut
disembunyikan dalam terowongan yang digali ditepi sungai Paturenan.
Di
timur sungai Paturenan sebelah utara Lasem, serdadu VOC dan prajurit
Citrasoma dihadang oleh pembrontak Lasem yang dipimpin oleh Kyai Badawi.
Bala sabil ini menggunakan ilmu kanuragan ” PETAK SEGARA MACAN ” yang
mana ilmu ini membuat orang tak dapat terluka oleh senjata tajam.
Tetapi
banyak bala sabil yang mati dihantam peluru meriam yang ditembakkan
Belanda dari kapalnya. Dibarat Lasem yaitu di Narukan dan Karangpace
sampai ke utara dipinggir laut, pembrontak dibawah pimpinan Raden Panji
Margana bertempur dengan serdadu Belanda dan antek-anteknya, bertempur
jarak dekat satu lawan satu.
Perang disini tak memakai senapan
karena tak cukup waktu untuk mengisi mesiu dan peluru. Di Narukan ini
lambung sebelah kiri Raden Panji Margana terluka oleh pedang sehingga
sebagian ususnya keluar. Beliau dibawa mundur oleh Ki Mursada yang
kemudian digendong oleh Ki Galiya ( pengawal pribadinya ) dibawa lari
dengan dilindungi oleh Ki Mursada yang terus memainkan jurus-jurus
goloknya.
Sesampainya ditempat sepi , di utara Gombong, mereka
berhenti untuk merawat luka Raden Panji Margana yang banyak mengeluarkan
darah yang akhirnya Raden Panji Margana meninggal dunia. Sebelum
meninggal dunia beliau meninggalkan pesan-pesan sebagai berikut :
Agar jenasahnya dikubur dibawah pohon trenggulun di desa Sambong dan kuburannya tanpa gundukan tanah dan batu nisan.
Istri dan anak-anaknya diungsikan ke Narukan.
Buku - buku suci dan Pustaka Badrasanti koleksinya agar dititipkan pada Ki Badraguna ( lurah Criwik )
Tembang sinom gubahannya sewaktu pulang dari perang Juwana agar dilestarikan sebagai kidung para dalang dan pesinden Lasem.
Apabila
pembrontak dari Gada yang dipimpin oleh Raden Panji Mlayakusuma
bertarung dengan Kompeni di Padang Kali Untu, maka pembrontak bantuan
dari Ngadem dan Badeg berhadapan dengan prajurit Kompeni dari Blora di
Besi., Raden Panji Mlayakusuma mengirim tim penyusup ke Rembang yang
menyamar sebagai penjual air sambil membawa rawe dan getah pohon rengas
yang gatal untuk dimasukan ke dalam sumur prajurit-prajurit kaki tangan
Belanda dan sumur tangsi Belanda.
Sore hari sewaktu prajurit
Belanda dan begundalnya mandi, mereka merasa gatal pada kulit, sehingga
melepuh. Malamnya pembrontak Lasem dibawah Raden Panji Mlayakusuma
membakar tangsi mereka sewaktu masih kegatalan. Kepanikan prajurit
Belanda disambut dengan pedang parang Lasem, korban dipihak Belanda
mencapai ratusan orang. Setelah itu pembrontak Lasem menghilang masuk ke
perkampungan penduduk.
Ki Noyosentono lurah Waru, penasehat
Bupati Suroadimenggolo III yang terkenal sakti dengan ajian ”
PANGLIMUNAN ” setelah mendengar bahwa Raden Panji Mlayakusuma yang bekas
atasannya ikut memimpin pembrontak Lasem membela Pangeran Talbaya,
beliau membangkang tak mau lagi menjadi abdi Bupati Suroadimenggolo III.
Ia memerintahkan semua keluarga dan abdinya ikut beliau melarikan diri
ke Gunung Kendeng Blora, mengungsi di dukuh Loh Gede dimana pamannya
tinggal.
Setelah menyerahkan keluarganya pada lurah Loh Gede, ia
bersama penduduk Loh Gede yang mendukungnya bergabung dengan pembrontak
dari Babadan dan Pengkol yang dipimpin oleh Ki Noyogembong adik dari Ki
Noyosentono.
Prajurit Belanda dari Pati dan Juwana bertemu /
bertempur dengan pembrontak Pengkol di Sekengkeng dan Rumbut Malang dan
juga di Bukit Cering. Prajurit Belanda dengan senapan dan meriam dalam
jumlah besar, tembakannya membuat kebakaran rumah di Dresi dan korban
dipihak pembrontak cukup besar, tembakannya membuat Pengkol yang
menyusup ke Timur lewat Cering banyak yang tewas.
Alkisah di
medan perang Layur, Mayor Oey Ing Kiat ketika mendengar berita bahwa
Raden Panji Margana telah meninggal karena luka di Karang Pace sangat
marah sambil berteriak-teriak : ” Aku ingin mati menyusul saudaraku Den
Panji dan saudaraku Tan Kee Wie ”.
Dengan membawa pedang pusaka
Naga Gak Sow Bun nekad maju menyusup kedepan kemedan perang. Desing
peluru dan ledakan peluru meriam tak membuat ciut nyalinya. Banyak
prajurit Belanda tewas di tangannya. Karena amarah yang tak terkendali
membuat hilang kewaspadaannya dan beliau tertembak dadanya oleh serdadu
bayaran Belanda dari Ambon.
Dengan mendekap dadanya yang
terluka, Oey Ing Kiat mundur dari medan perang. Dibelakang medan perang
ia ambruk dan meninggalkan pesan kepada yang mengelilinginya agar
jasadnya dikubur dilereng puncak gunung Bugel dan menghadap barat.
Makamnya hendaknya ditandai dengan dayung perahu dan pohon beringin dan
lokasinya dirahasiakan kecuali hanya keluarga yang tahu. Jenasahnya
dibawa ke Warugunung di rumah istri mudanya (putri Bupati Tuban) untuk
dibersihkan dan dimakamkan ditempat yang dimintanya.
Dengan
istri mudanya ini Oey Ing Kiat mempunyai tiga putra putri yaitu :
Sudana, Suparing dan Sudriyah. Nantinya Sudana menjadi asisten lurah di
Warugunung dan saudaranya yang lain beranak pinak di Gunung Bugel.
Setelah
padamnya pembrontakan warga Lasem, rumah Raden Panji Margana disita
Belanda dan pada Januari 1751 rumah tersebut ditinggali Mr. Happen (
kontrolir Belanda ).
Rumah Oey Ing Kiat dipakai oleh keponakannya
yang diangkat Belanda sebagai Kapiten Tituler Lasem serta Jung dan
perahu-perahunya disita oleh Belanda.
Bupati Suroadimenggolo III
dikembalikan ke Semarang karena dianggap gagal menentramkan warga
Lasem, sebagai gantinya Tumenggung Citrasoma diangkat menjadi Bupati
Lasem serta tinggal di Binangun – Bonang yang masyarakatnya pro ke
Belanda . Akibat perang pembrontakan ini ribuan warga pribumi dan
Tionghoa Lasem terbunuh.
Setelah kota Lasem tenang, maka pada
tahun 1780 di desa Babagan masyarakat Tionghoa mendirikan monumen untuk
mengenang jasa ketiga pemimpin tersebut berupa sebuah Klenteng untuk
memuliakan pahlawannya. Oleh masyarakat Tionghoa di Rembang dan Juwana
pahlawan-pahlawan ini dimuliakan pula dengan memasang patung pahlawan
tersebut di Klenteng mereka.
Adalah tugas dari para arkeolog dan
masyarakat Lasem sekarang mencari dan menemukan batu prasasti yang dulu
diletakkan di tambak Batok Mimi karena batu prasasti ini adalah salah
satu bukti otentik dari kisah perlawanan heroik masyarakat Lasem,
Rembang, Juwana dan sekitarnya dalam bahu-membahu tanpa memandang agama
dan etnik bersatu melawan VOC.
Cerita ini disadur dan
diterjemahkan dari Kitab Badrasanti dengan harapan saduran ini dapat
menggugah hati masyarakat ketiga kota tersebut untuk bersatu padu
memerangi kemiskinan dan kebodohan yang masih melilit sebagian besar
masyarakat disana.
Info lebih lanjut:
Aldian.niko@yahoo.com
AldianX.x@gmail.com